Kamis, 09 Desember 2010

Sing a Song ^^

 FALLIN 
I never felt like this before
Between us there is something more
You gave me love that's true
I know now my heart beats for you
I feel you in the wind
The rain and the sun
And all my burdens gone
I won't let you go
Never let you go


Reff:
Fallin.. I'm fallin..
I'm fallin for you
Fallin.. I'm fallin..

~~
Check it
It (??) from my heart..yeah
I'm break down to the (??) yawh
I'm a dessert desperate for the fall of rain
I'm a wound try to heal now can you cover this pain
Just like the prodigal son running back to his father
Like a child that cry for the love of a mother
I'm knocking on your door
I'm calling for your name
Just let me in so I will never be the same
Please take away all this pleasure from my shoulder
Show me the way to find the ultimate pleasure

Senin, 15 November 2010

Sumpah Pocong

Sumpah pocong yang konon merupakan tradisi masyarakat pedesaan adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dengan kondisi terbalut kain kafan layaknya orang yang telah meninggal.


Sumpah ini tak jarang dipraktekkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk. Sumpah pocong biasanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam dan dilengkapi dengan saksi dan dilakukan di rumah ibadah (mesjid). Di dalam hukum Islam sebenarnya tidak ada sumpah dengan mengenakan kain kafan seperti ini. Sumpah ini merupakan tradisi lokal yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah ini dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan atau kasus yang sedikit atau bahkan tidak memiliki bukti sama sekali.


Di dalam sistem pengadilan Indonesia, sumpah ini dikenal sebagai sumpah mimbar dan merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata, walaupun bentuk sumpah pocong sendiri tidak diatur dalam peraturan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat, biasanya berupa perebutan harta warisan, hak-hak tanah, utang-piutang, dan sebagainya.


Dalam suatu kasus perdata ada beberapa tingkatan bukti yang layak diajukan, pertama adalah bukti surat dan kedua bukti saksi. Ada kalanya kedua belah pihak sulit menyediakan bukti-bukti tersebut, misalnya soal warisan, turun-temurunnya harta, atau utang-piutang yang dilakukan antara almarhum orang tua kedua belah pihak beberapa puluh tahun yang lalu. Bila hal ini terjadi maka bukti ketiga yang diajukan adalah bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Bukti ini agak rawan dilakukan. Bila ketiga macam bukti tersebut masih belum cukup bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara maka dimintakan bukti keempat yaitu pengakuan. Mengingat letaknya yang paling akhir, sumpah pun menjadi alat satu-satunya untuk memutuskan sengketa tersebut. Jadi sumpah tersebut memberikan dampak langsung kepada pemutusan yang dilakukan hakim.


Sumpah ada dua macam yaitu Sumpah Suppletoir dan Sumpah Decisoir. Sumpah Supletoir atau sumpah tambahan dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan tapi belum bisa meyakinkan kebenaran fakta, karenanya perlu ditambah sumpah. Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. Dengan menggunakan alat sumpah decisoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah. Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan sumpah pocong. Sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Premanisme Sejak Zaman Jawa Kuno

Fenomena kekerasan dalam masyarakat Jawa kuno dapat diketahui melalui kajian arkeologi dari sumber-sumber tertulis berupa prasasti, lontar, dan naskah-naskah. Adapun penggambaran dalam beberapa panil relief candi terdapat di Candi Mendut di Jawa Tengah serta Candi Surawana dan Rimbi di Jawa Timur.


Pemerintah kini sedang disibukkan oleh ulah para preman yang sering mengganggu ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat harus bekerja keras dan menumpas habis segala bentuk kejahatan. Namun, usaha itu akan sia-sia jika tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Gambaran ini juga terjadi pada masa pemerintahan kerajaan besar seperti Sriwijaya, Kediri, Singosari, dan Majapahit.


Pada masa Jawa kuno, serangkaian undang-undang dan hukum berupa pemberian sanksi yang keras diberlakukan tidak saja pada pelaku kejahatan, tetapi juga warga yang desanya sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Sanksi yang diberikan kepada desa-desa tersebut berupa denda dan pajak yang sangat memberatkan. Oleh karena itu, penduduk desa membuat pos-pos keamanan untuk meminimalisir kejahatan. Walaupun upaya itu telah dilakukan, masih sering terjadi karena faktor alam dan lingkungan berupa hutan lebat dan terisolirnya dari pusat pemerintahan.


Naskah-naskah hukum (awig-awig) banyak ditemukan di Bali dan ditulis dalam bahasa Jawa kuno dari masa pasca-Majapahit. Naskah yang ditulis dan diterjemahkan oleh para sastrawan tersebut diacu dari institusi kerajaan di India yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan.


Dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para pejabat kehakiman dari masa klasik (Hindu-Buddha) tidak semuanya ditulis di atas logam, tembaga, atau perunggu karena tidak praktis dan terlalu berat. Biasanya ditulis di atas ripta berupa daun lontar atau karas. Setelah berpuluh-puluh tahun ripta tersebut dapat rusak dan disalin kembali serta dilakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan pasal-pasal sesuai dengan perubahan bahasa dan perkembangan masyarakat.


Adanya naskah hukum tadi memberikan gambaran yang jelas bahwa masyarakat Jawa kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram, dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan.
Kejahatan dari masa ke masa


Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9-10 Masehi di Jawa Tengah pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa pasca-Majapahit abad ke-13-15 Masehi memuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, prasasti Balingawan berangka tahun 891 M dari bahan batu yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kabunan (mayat kena embun).


Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminal (walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya ditemukan di desa tersebut) maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi?


Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan desa yang bergantung pada hierarki pemerintahan di atasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan. Desa Balingawan menjadi sebuah sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.


Kedua, prasasti Mantyasih (907 M) yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua di antaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap yang ditulis di atas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan sima dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakan pesta perkimpoian raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini pada masa Jawa kuno terletak di sekitar Gunung Susundara (Sundara) dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Ketiga, prasasti Kaladi (909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.


Keempat, prasasti Sanguran (928 M). Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, di antaranya: wipati wankay kabunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur in dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian?), tutan (mengejar lawan yang kalah?), danda kudanda (pukul-memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
Kelima, naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.


Hukum tersebut berisikan: tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi utang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).


Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Relief candi


Beberapa candi yang memuat adegan kekerasan dapat dilihat di Candi Mendut, Jawa Tengah, bercorak Buddhis. Pada tangga masuk di sisi selatan candi peninggalan abad ke-9-10 M itu terdapat panil relief yang menggambarkan dua figur, salah satunya memegang gada/parang (?), sedangkan figur yang satunya memegang alat semacam perisai.


Di Jawa Timur, panil-panil relief yang menggambarkan kekerasan dapat dilihat pada Candi Surawana (Pare, Kediri), merupakan peninggalan sekitar abad ke-14 M, bercorak keagamaan Buddhis. Pada bagian kaki candi sisi utara terlihat relief yang menggambarkan adegan kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang memilin kepala seseorang. Sementara pada Candi Rimbi di Bareng, Jombang, (peninggalan abad ke-13-14 M), pada bagian kaki candi, di sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan dengan menggunakan kain cancut.


Fenomena masyarakat Jawa kuno tentang dunia kekerasan tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Para penguasa pada masa itu sudah mengindahkan aturan-aturan dan nilai-nilai hidup yang harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan kepercayaan/agama. Aturan-aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan prasasti dan gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan-pesan moral dan etika, sebagai tuntunan hidup manusia.


Walaupun peraturan dengan segala sanksi hukum begitu kerasnya, bahkan desa-desa dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus berperan aktif dalam menjaga ketertiban, tetapi masih sering terjadi tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum tidak diimbangi dengan disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran seluruh masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi di mana-mana, bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di negeri ini.

Nama-nama neraka dan penghuninya :


Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan (QS 78:17)
1. Neraka Jahanam (QS 15:43)

 Disediakan untuk para pengikut syaithan. Pengikut syaithan kebanyakan para wanita, mengapa demikian?      karena dalam diri seorang wanita terdapat roh-roh syaithan. 
Syaithan bentuknya ada 3 (tiga) yaitu:
a. Ucapan para dukun, peramal
b. Hawa nafsu (egoisme) QS 45:23
c. Mengkultuskan kepada seseorang

2. Neraka Syair (QS 84:12-13)
Disediakan untuk orang-orang kafir terhadap akherat (tidak percaya), juga untuk orang yang seneng bila mendapat rezeki dan marah ketika susah memperoleh rezeki.

3. Neraka Shaqor (QS 74:42-47)
Disediakan untuk orang yang tidak melaksanakan sholat, tidak mau memberi makan orang miskin, tukang gossip dll.

4. Neraka Jahim (QS 26:91)
Disediakan untuk mereka yang menyembah berhala, thagut (harta & tahta), juga untuk orang yang sesat.

5. Neraka Huthomah (QS 104:1-9)
Disediakan untuk para pengumpat & pencela.

6. Neraka Ladho (QS 70:15-18)
Disediakan untuk orang yang tidak beragama, menyimpan harta (kikir)

7. Neraka Hawiyah (QS 101:1-11)
Disediakan untuk orang yang ringan kebaikannya,

Semoga kita terhindar dari perbuatan yang akan menjerumuskan kita ke dalam neraka. Ya Rabb tunjukilah kmai jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS 1:6-7).  

Orang Buta Mempunyai Indera Keenam?

Sering kita mengetahui, bahwa banyak dari orang di sekitar kita yang mengalami kebutaan pada matanya, akan tetapi mempunyai kemandirian dalam melakukan segala sesuatu layaknya orang normal. Benarkah mereka mempunyai apa yang disebut indera keenam?


Sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of Tilburg, Belanda, mengungkapkan bahwa memang bisa saja seseorang yang mengalami kebutaan total dapat berjalan dan melakukan sesuatu tanpa bantuan apapun. Sebab, meski mata mereka tidak normal, otak dan naluri mereka bekerja jauh lebih besar dari orang kebanyakan.


Oleh para ilmuwan tersebut ini yang disebut dengan "blindsight", sebuah kemampuan yang luar biasa dari beberapa orang buta untuk dapat "melihat", karena sebenarnya ada kemampuan untuk menerima gambar ke dalam otak mereka. Selain itu, dalam insting mereka dalam memahami keadaan sekitar juga menjadi penunjang bagaimana mereka bisa melihat.


Seperti yang dilansir Science Daily, Kamis (25/12/2008), ini menjadi bukti lain yang pasti, bahwa manusia secara tersembunyi mempuyai "intuisi" yang dapat mendeteksi aspek dunia di sekitar kita dengan cara yang tidak bisa diterima oleh logika. Inilah yang disebut dengan indera keenam.


Yang jelas, otak mempunyai peranan penting. Dengan otak, semua pesan yang masuk, baik berupa gambar, maupun suara akan bekerja. Meskipun, salah satu alat indera kita tidak bekerja maksimal.


Itulah kenapa orang buta bisa menjalani aktivitas secara normal, karena otak mereka masih bisa bekerja. Dan mungkin, kemampuan indera keenam mereka yang terbuka. 

Selasa, 26 Oktober 2010

Ketika Hati Bicara

Datang membawa luka
Tanpa kata tanpa asa
Dalam deruan ombak nyanyian hati
Alunan irama mengharu biru
Hati terus bertanya-tanya
Apakah Aku ini ???
Kaum hawa yang tak berdaya

Minggu, 17 Oktober 2010

Misteri Jenglot

Beberapa tahun lalu, sekitar akhir tahun 1997, tiba-tiba saja ada “makhluk” misterius yang jadi pembicaraan. Perawakannya kecil dengan tubuh tak lebih dari 12 cm dan rambutnya yang panjang, jarang dan kaku melewati kaki.

Makhluk itu dinamakan jenglot. Kabarnya, jenglot itu bukan benda mati. Konon ia hidup, namun tak ada yang pernah tahu kapan bergerak.

Sang pemilik, Hendra Hartanto, pengusaha restoran dari Surabaya selalu hanya mendapati posisi kaki, tangan, dan kelopak mata yang sudah berubah. Konon, makhluk misterius itu selalu menghabiskan darah manusia yang dicampur minyak japaron. Namun, sekali lagi, tak ada yang tahu kapan ia menenggaknya. Menurut Hendra, dalam menyantap sajiannya itu, jenglot tak menggunakan cara seperti yang dilakukan manusia pada umumnya. Yang jelas, dalam setiap 18 jam, sebanyak 3 cc darah dan minyak wangi yang disajikan akan berkurang sekitar 50 persen sampai 60 persen.

Jenglot, karena itu bisa jadi amat misterius. Sama misteriusnya ketika Hendra menemukan makhluk aneh tersebut. Syahdan, perkenalan Hendra dengan “makhluk” aneh itu terjadi pada 1972. Ketika itu, ia bersemadi di pantai Ngliyep, Malang, Jawa Timur. Dalam keadaan setengah sadar, ia merasa ada sosok yang menghadiahinya dengan Bethoro Kapiwiro dan Bethoro Katon. Beberapa bulan kemudian, dengan cara serupa, dan di tempat itu pula, Hendra mendapatkan Jenglot dan Bethoro Kapiworo. Namun kata Hendra, mereka memiliki asal-usul berbeda. Jenglot dan Bethoro Kapiworo merupakan jelmaan pertapa sakti yang kualat. Sedangkan Bethoro Katon dan Bethoro Kapawiro adalah kera sakti yang dikutuk. Namun mereka semua, menurut Hendra, hidup dan punya mistik.

DNA Manusia

Hendra bahkan berani menyebut “temuannya” itu sebagai manusia. Menurut cerita yang dia susun, jenglot pada masa ribuan tahun lalu adalah manusia (seorang pertapa) yang tengah mempelajari ilmu Bethara Karang. Ilmu Bethara Karang diyakini sebagai ilmu keabadian. Artinya, setiap orang yang memiliki ilmu tersebut akan hidup abadi di dunia. “Namun, akibat kutukan, jasad jenglot tidak diterima di dunia sedangkan rohnya tidak diterima di akherat. Maka roh tersebut seperti terpenjara dalam jasad kecil ini,” kata Hendra. Setelah itu, sang pertapa menjadi emosional dan merasa sebagai jawara. Tak pelak, tubuhnya pun menyusut, hingga akhirnya mengecil. Empat taring kemudian tumbuh memanjang, tak sebanding dengan lebar mulutnya. Katanya, itu sebagai lambang keganasan dan sifat liar sang “monster”.

Melihat dari dimensi realita, jenglot kini memang hanya tinggal mumi. Namun, ia masih memiliki energi, di mana rambut dan kuku jari terus memanjang. Bahkan, posisi kaki dan tangan pada saat-saat tertentu akan berubah. Jika menyimak dari sisi nonrealita, maka jenglot memiliki energi yang bisa dirasakan melalui kekuatan supranatural. “Jadi, masih tersisa energi dalam jasadnya yang beku,” ujar Hendra.

Jenglot sendiri, sebenarnya hanya istilah atau sebutan. Menurut Hendra, pihaknya juga tidak tahu kata itu diperoleh dari hasil “menayuh”. Namun, dia tak mengetahui pasti, dari bahasa Sansekerta atau Jawa Kuno asal kata tersebut. Jenglot, lanjut dia, hanya julukan, sama halnya ketika manusia menyebut “vampire” atau “drakula”.

“Dia sebenarnya memiliki nama, tapi saya nggak bisa menyebutnya di sini. Sebab, nama itu merupakan password.”

Masih menurut si penemu, jenglot merupakan peninggalan sejarah yang berumur 3.112 tahun. Selama ini, jenglot sempat ikut dalam pameran Gelar Benda Pusaka Jenglot di Plasa Metro Sunter, dan Plaza Sentra Buana. Ia dipamerkan bersama tiga “makhluk aneh” lainnya, yakni Bethara Kathon, Begawan Kapiworo, dan Begawan Kapawiro.

Déjà vu



Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton.
Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.

Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi sendiri?

Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif
Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.

Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.

Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.

Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.

Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium
Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.

Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.

LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.